Tanda untuk menyatakan bunyi bahasa disebut huruf, sedangkan aturan-aturan yang menyatakan bagaimana huruf-huruf harus dipakai untuk menyatakan bunyi dalam bahasa tulisan disebut ejaan.
Bahasa Indonesia yang berkembang berdasarkan Bahasa Melayu telah mengalami beberapa kali perubahan ejaan, dimulai dengan ejaan Van Ophuysen sampai akhirnya Ejaan Yang Disempurnakan, yang berlaku sejak tahun 1972.
Dalam kenyataannya, hingga sekarang ini, walaupun pedoman dalam pemakaian bahasa dalam pers yang disetujui bersama dalam Karya Latihan Wartawan PWI Pusat, akhir 1978, dinyatakan “Wartawan hendaknya secara konsekuen melaksanakan Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan”, (pasal 1), terdapat kelainan-kelainan terhadap ketentuan-ketentuan EYD, yang kiranya perlu mendapat tanggapan. Sebab kenyataannya masih terjadi “pelanggaran” –dapat disebut penyelewengan Pedoman EYD– dalam pers Indonesia.
Masalah ejaan bukanlah merupakan tolak ukur menentukan tingkat kebudayaan, dalam hal ini kebudayaan tulis seseorang. Namun masalah ejaan ada kaitannya dengan masalah mentalitas.
Mengenai kelainan-kelainan terhadap ketentuan-ketentuan Pedoman EYD perlu ada tanggapan. Gejala-gejala kelainan ini memang bukan sebagai pembangkangan terhadap ketentuan-ketentuan pedoman EYD, tapi tidak dilebih-lebihkan kalau dikatakan. Tidak ada satu koran pun yang konsekuen melaksanakan pedoman EYD. Juga tidak Televisi Republik Indonesia, media massa pemerintah resmi yang audio visual yang acap juga menampilkan tulisan.
Maka tentu timbul pertanyaan : Mengapa?
Salah satunya karena kelalaian dan kecerobohan, untuk itu diperlukan ketelitian dan memperdalam tentang pedoman EYD. Yang kedua adalah karena kebiasaan yang kian lama kian meluas. Perlu adanya tanggapan yang lebih khusus, terutama Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang punya reduplikasi, sedangkan bahasa-bahasa barat tidak. Demikian juga terhadap perangkaian kata yang ditulis satu kata maupun yang memakai garis tanda hubung. Di samping itu kata-kata dengan bentuk kembar, bukan saja kembar dua atau kembar tiga malahan sampai kembar empat.
Sebagai contoh, Pedoman Umum Pembentukan Istilah menyatakan teknik, tapi sama banyaknya orang menulis tehnik, termasuk lembaga-lembaga pemerintah.
Adalah ideal untuk memiliki pedoman keseragaman menuliskan nama-nama negara di seluruh dunia, berdasarkan penggunaan huruf-huruf menurut EYD. Paling tidak, seyogyanya ada sikap yang konsisten dalam menuliskan nama-nama negara.
Suatu kebiasaan internasional bahwa setiap bahasa mempunyai sistem penulisan nama-nama negara sendiri, yang bisa jadi saling berbeda, seperti halnya menyebutkan nama-nama negara itu. Indonesia dalam Bahasa Belanda Indonesie, dalam Bahasa Inggris kebetulan sama dengan kita Indonesia, tapi dalam Bahasa Polandia, Indonezja, sedangkan dalam Bahasa Prancis menjadi Indonesia, dan dengan bahasa-bahasa lain mungkin berbeda-beda lagi. Orang Belanda menulis sesuai dengan penggunaan huruf dalam ejaan Bahasa Belanda Tsjechoslowakije, yang sangat berbeda dengan sistem penulisan Bahasa Inggris Czechoslovakia, sedangkan kita sendiri untuk penggunaan EYD menulis Cekoslowakia. Dulu menurut ejaan Republik Tjekoslowakie dekat ke ejaan Belanda, sedangkan sekarang menurut EYD dekat dengan ejaan Inggris. Adanya nama-nama kembar jelas tidak memberikan kesan yang baik tentang penggunaan ejaan bahasa nasional kita.
Di sini dikemukakan beberapa contoh tentang nama negara Indonesia berbeda-beda seperti Siria-Syiria-Suriah, Inggris-Inggeris, Muang Thai-Thailand, Arab Saudi-Saudi Arabia, Rumania-Romania, Philipina-Filipina-Philippina-Filippina. Jumlah ini dapat ditambah dengan banyak nama lagi.
Suatu hal yang mewabah akhir-akhir ini ialah penulisan nama-nama Cina dengan penulisan huruf latin cina tetapi dengan pengucapan Bahasa Indonesia, yang ada kalanya jauh berbeda. Demikian Beijing dan Deng Xiao Ping diucapkan oleh Indonesia berbeda dengan orang cina. Bahwa orang Inggris atau orang Amerika menurut siaran radionya masing-masing juga mengucapkan demikian, bukanlah alasan bagi kita untuk menurutinya.
Mengucapkan Beijing menurut pengucapan ejaan Bahasa Indonesia, yaitu b seperti babu dan j dalam jajan, samalah dengan menyetujui orang Cina mengucapkan nama Panggabean;Pangkapean dan Daud Yusuf; Taud Cusuf, karena dalam bahasa cina resmi tidak ada konsonan b, g, d, j, yang kita gunakan dalam ejaan Bahasa Indonesia. Dan mengapa pula kita berturut-turut menuliskan Mao Ze Dong dan mengucapkan z seperti z dalam air zamzam, dan d dalam kedondong, sedangkan pedoman EYD menentukan menuliskannya (dan mengucapkannya) Mao Tse Tung?
Adalah wajar jika kita menuliskan nama terutama nama negara sesuai dengan ejaan dan pengucapan yang kita gunakan dalam bahasa kita. Karena huruf c dalam bahasa kita menurut EYD dibunyikan jauh sekali berbeda dengan k maka sudah sewajarnya negara yang menggunakan c diubah dengan k. Bukankah nama America sejak dulu kita ganti dengan Amerika? Membiarkan penggunaan c untuk nama negara-negara yang diucapkan k, hanyalah membawa orang Indonesia kepada pengucapan yang salah.